The Real Pianist Oleh Hastuti Penulis adalah siswa SMUK Harapan Denpasar Bali Teng…teng…teng… Satu persatu tuts piano kutekan dengan kesal. Dalam hatiku penuh pertanyaan. Mengapa bukan aku? Mengapa mereka tidak memilihku untuk lomba itu? Apa yang kurang dariku? Bahkan saat semua orang istirahat, aku terus berlatih. "Siapa di sana?" tanyaku saat terdengar suara dari balik pintu. "Sedang apa kau? Mengintip?" tanya dengan nada marah padanya. "Aku hanya melihat orang yang tidak puas hingga melampiaskan kemarahannya pada piano itu," sahutnya. "Kau ini siapa?" tanyaku lagi. "Sebenarnya, bermain piano itu mudah. Yang sulit ketika kau memainkannya dengan pikiran, bukan dengan hati," ujarnya ringan sambil meninggalkanku. Aku terus memikirkan ucapannya itu. Apakah benar aku telah loncat dari tujuan musik ke ambisi untuk menang? Apa benar aku menggunakan pikiran dalam bermain piano? Aku masih tertegun, penasaran akan sosok lelaki yang misterius itu. Aku beranjak pulang untuk sedikit saja menyandarkan tubuhku di ranjang yang empuk dan kamarku yang hangat. "Rena sudah pulang?" tanya suara lembut milik ibuku. "Bagaimana tadi? Menyenangkan?" tanyanya kembali tanpa ada jawaban dariku. Melihat aku yang seperti itu, ibu pasti sudah dapat menerka yang terjadi. Sementara aku dengan malas berjalan menuju kamar. "Rena," panggil ibu, "Jangan menyerah, padahal kemarin wajah Rena sangat bersemangat. Ibu yakin jika hari ini tidak berhasil, pasti besok bisa." Aku hanya memberi senyum melihat ibu yang selalu mendukungku. *** Aku saat ini kursus musik di salah satu tempat kursus yang paling terkenal. Aku memainkan piano. Kemarin aku gagal terpilih menjadi wakil untuk lomba piano internasional. Setiap hari kuhabiskan dua jam untuk bermain piano, tapi tetap saja aku gagal. Suatu hari aku ingin menjadi pianis terkenal. Namun impian itu ternyata masih jauh dariku. Hari ini aku ke tempat kursus hanya untuk mengambil nilai dan mendaftar ulang. Dari balik jendela aku menemukan sosok lelaki misterius yang kutemui kemarin. Ia tengah asyik berdendang dengan pianonya. Ia bahkan tidak menggunakan partitur. Ia sungguh telah masuk ke dalam lagu itu. Pantas saja ia bilang harus bermain piano dengan hati. Perlahan kucoba mendekati ruangan itu dan kubuka sedikit daun pintunya. Kenapa berhenti? Lagu itu berhenti, tanyaku dalam hati. Saat kuangkat kepalaku dan kulihat lelaki itu telah ada di depanku. "Kau yang kemarin itu ya?" sapanya hangat. "Aku sebenarnya hanya ingin mendengarkan," kataku, "Tidak bermaksud mengganggumu." "Oh, aku tidak merasa terganggu. Masuk saja," sahutnya. "Silakan duduk," katanya yang kusambut dengan anggukan. "Hari ini kau latihan?" tanyanya. "Tidak. Aku hanya mengambil nilai lalu aku tidak sengaja…" kataku setengah-setengah. "Sudahlah, aku kan sudah bilang aku tidak terganggu sama sekali," lanjutnya. "Kau, kau ini guru piano di sini ya?" tanyaku. "Oh, aku belum pantas disebut guru. Masih banyak yang harus kupelajari." "Kenapa kau selalu merendah?" tanyaku lagi. "Aku hanya berpikir, jika aku selalu meninggikan hati, suatu saat aku pasti akan jatuh juga. Bahkan lebih sakit," katanya, "Oh ya, kau gagal dalam pemilihan kemarin ya? Menurutku jangan terlalu dipikirkan. Setiap tahun ada lomba-lomba semacam itu. Jadi kau jangan putus asa hanya karena itu." Aku tertegun mendengar kata-katanya. Parasnya menunjukkan usia 20-an, tapi tutur katanya seperti mengandung makna. "Aku hampir lupa, ini brosur beasiswa belajar di Inggris. Ambillah," katanya. "Belajar musik di Inggris gratis?" tanyaku heran. "Ya, tapi harus mengikuti tes masuknya bulan depan. Kuharap kau mau ikut," ajaknya, "Karena di sana kau akan lebih matang dan mungkin bisa jadi pianis terkenal." Ah, itulah yang kuimpikan. Seketika kujawab, "Aku pasti berusaha." "Kembalilah besok dan aku akan memberi sedikit petunjuk," katanya ramah. "Baik," kataku sambil meninggalkan ruangan itu. "Boleh kutahu siapa namamu?" tanyaku setelah teringat aku belum tahu namanya. "Panggil saja aku John," ujarnya. Keesokan harinya aku datang seperti yang dijanjikan. Ia mengajariku banyak hal ia juga selalu menekankan padaku supaya berlatih tanpa partitur. Ia berkata bahwa saat piano dimainkan, kau bukan lagi seorang pianis. Kita juga harus masuk ke dalam nada dan harmoninya. Ia orang yang ramah, sabar, dan punya style. Selama sebulan ini ia melatihku agar mendapat beasiswa itu. Sampai hari tes itu, ia masih memberiku semangat. "Percayalah pada dirimu. Jangan ragu, kamu pasti bisa," dukungnya. "Ibu selalu mendoakanmu Nak," ujar ibuku yang juga hadir hari itu. Aku segera menuju piano di panggung karena namaku dipanggil. Ada rasa takut, gemetar, dan tegang yang kualami sesaat. Aku berdiam sebentar sambil berdoa, sampai pada akhirnya aku mulai menyentuh tuts piano. Aku ingat pesan John, jadi diri sendiri, dan harus masuk ke dalam nada. Dengan hati penuh harapan, kumainkan lagu itu. Tidak ada lagi pikiran bahwa aku harus menang. Yang ada saat itu hanya bagaimana aku menyelesaikan lagu itu dengan sempurna. Pengumuman yang ditunggu-tunggu datang juga. Dengan penuh harap cemas aku menanti-nanti namaku disebut. "Rena!" Suara itu…suara itu! Benarkah? Benarkah aku yang terpilih pergi ke Inggris? Setengah tak percaya, kupeluk ibu dan John. "Terima kasih John. Tanpamu tak mungkin aku seperti sekarang," kataku pada John yang mengantarku ke bandara. "Rena, kau tahu, akulah yang waktu itu terpilih jadi wakil lomba piano internasional," sahut John, "Karena itu, aku berharap kau belajar dengan baik di Inggris." "Baik, saat pulang aku akan menantangmu sekali lagi," kataku. Aku senang, akhirnya impianku menjadi pianis terkenal akan tercapai. Dan kepada John yang betul-betul baik, kupikir dialah The Real Pianist.